Wednesday, July 23, 2008

Dari Dee

*Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah dan tidak statis.

*Hidup pasti sangat terbeban saat kita merasa punya kendali atas pikiran orang lain. Dan saya tidak ingin hidup seperti itu.

*Sang Buddha pernah menyadarkan seorang ibu yang tak bisa menerima kematian anaknya, sampai menggendong anaknya yang sudah jadi bangkai ke mana-mana. Sang Buddha hanya minta satu hal pada sang ibu: 'Cari satu orang yang tidak pernah mengalami kesedihan, tidak pernah mengalami kedukaan.' Si ibu mencari dan tidak menemukan. Saat itu ia tersadar akan kemelekatannya. Semua orang tak pernah selamanya senang, tak juga selamanya sedih.
"Semoga 'bangkai' apapun yang kita gendong selama ini akhirnya bisa kita lepaskan dengan hati lapang."

--Kutipan dari dee-idea.blogspot.com (isi & respons komen)

Saya membaca posting terbaru Dewi Lestari "Catatan Tentang Perpisahan". Ini salah satu posting Dee yang paling saya suka, meskipun mungkin alasan di balik pembuatan tulisan itu (seharusnya) menyedihkan, yaitu tentang perpisahannya dengan sang suami, Marcell.

Saya suka postingan ini karena bisa membantu saya (atau kita?) menguraikan banyak hal dan peristiwa kehidupan. :)

Apapun, Dee (dan Marcell dan Keenan), semoga selalu berbahagia.

2 comments:

WINNER said...

ini catatannya dewi dan komentar saya…
Catatan Tentang Perpisahan

Perpisahan, sebagaimana kematian, adalah hal yang paling dihindari manusia. Padahal sama seperti pertemuan dan kelahiran, kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah. Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima mati.

+++++Dewi berusaha untuk memulai pemaparannya (apologi/pembelaannya) dengan baik. Disini dia memulai dengan dialektika, yaitu jika ada perjumpaan, pasti ada perpisahan. Jika ada saya pasti karena ada kamu. Jika ada muda, pasti karena ada yang tua. Logika Cartesian ini, yang diperkenalkan oleh Rene Descartes (seorang filsuf Yunani), mengawali ’pencerahan’ dari sang dewi ini. Kemudian, dia juga memaparkan suatu hal yang akan membawa perdebatan dalam pemaparannya dalam tahap selanjutnya. Perdebatan itu sendiri terjadi diantara teks-teks yang disampaikannya (among themselves), dan bukan pada kita pembaca. Kalimat-kalimat Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima mati, telah membuka celah bagi diskusi dan dari sejak awal dia sudah mematahkan argumen-argumen yang akan dia paparkan dalam episode apologi berikutnya. Mari kita tengok isi kalimat itu. Dewi tidak pernah tahu kapan dia akan mengalami perpisahan atau kematian. Artinya, tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan waktunya bagi dia untuk berpisah. Yang harus dilakukan adalah bertahan. Demikian juga bahwa dari logika sedemikian ini, kiranya sah pula pernyataan berikutnya, yaitu bahwa dengan demikian maka tidak ada seorang pun juga yang berhak untuk menentukan kapan waktunya bagi dia untuk berpisah. Jadi, yang dilakukan oleh manusia adalah berusaha mempertahankannya. Dan mestinya, manusia hanya sampai pada tahap itu, dan bukan pada tahap mengambil keputusan untuk berpisah, apapun alasannya.
Kedua, dewi ini tidak lengkap menerangkan bahwa dalam sebuah peristiwa, sebagaimana juga dialektika itu terjadi, yaitu ada perjumpaan, ada perpisahan, ada muda , ada tua. Ada lahir , ada mati. Ketika dialektika itu harus berjalan, satu hal yang harus kita pahami, bahwa dalam hal itu pasti ada variabel pendukungnya. Kematian, variablenya bisa penyakit, bisa juga karena pembunuhan. Penyakit itu juga variabelnya bisa beberapa, bisa karena kemiskinan, kurang makan, atau juga bisa saja karena terlalu kaya lantas bisa stroke. Lalu, peristiwa atau keadaan yang namanya kemiskinan, bisa disebabkan oleh kondisi alam yang tidak mendukung, atau karena kemalasan. Jika kita urut lebih jauh lagi, maka akan ada urutan peristiwa yang sangat panjang, dan variabel/premis pendukungnya bisa ribuan. Setiap peristiwa atau keadaan, ada faktor pendukungnya. Jadi, peristiwa perpisahan juga ada variabelnya. Apakah karena dipisahkan oleh Tuhan (kematian) atau perpisahan karena faktor manusianya. Inilah objek obervasi kita atau objek verifikasi kita atas argumen dewi selanjutnya.
Jadi, dari pernyataan dewi, ada dua konklusi penting yang harus kita jadikan pisau penguji dan patokan dalam mengkritisi pendapat beliau berikutnya, yaitu :

++++1. bahwa tidak ada seorangpun yang tahu kapan akan mengalami perpisahan. Dengan demikian, tidak sah pula kewenangan seeorang untuk menyatakan kapan waktunya untuk perpisahan. Kecuali kita memandang bahwa itu bukanlah sebuah perpisahan yang ’memang seharusnya’, tetapi lebih kepada keputusan manusia.
++++2. bahwa dalam setiap peristiwa atau keadaan, pastilah ada variabel pendukungnya. Tidak mungkin sebuah peristiwa terjadi begitu saja. Tinggal diverifikasi, apakah penyebabnya adalah alam, Tuhan, atau ternyata manusia itu sendiri.++++++++

Saya sempat termenung melihat salah satu adegan dalam film “Earth” di mana seekor kijang berlari sekuat tenaganya hingga pada satu titik dia begitu berpasrah saat digigit oleh harimau, menghadapi kematiannya dengan alami. Adegan yang tadinya begitu mencekam akhirnya bisa berubah indah saat kita mampu mengapresiasi kepasrahan sang kijang terhadap kekuatan yang lebih besar darinya. Persis bagaikan kijang yang berlari, manusia dengan segala macam cara juga menghindari kematian. Orang yang sudah tidak berfungsi pun masih ditopang oleh segala macam mesin agar bisa hidup. Perpisahan tak terkecuali. Kita pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan terlebih dahulu. Namun, sebagaimana kijang yang akhirnya berlutut pasrah, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, jika ucapan selamat tinggal siap terlontar. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti.

Dalam semua hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun saya percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa, hubungan pun sama. Jika tidak, semua orang tidak akan pernah mati dan semua orang tidak pernah ganti pacar dari pacar pertamanya. Kita bisa bilang, putusnya hubungan A karena dia selingkuh, karena bosan, karena ketemu orang lain yang lebih menarik, belum jodoh, dan masih banyak lagi. Padahal intinya satu, jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.

Jadi, semua faktor yang selama ini diabsahkan orang-orang sebagai penyebab perpisahan (orang ketiga, KDRT, tidak dinafkahi, dan lain-lain) menurut saya sebenarnya adalah gejala yang terlihat, bukan penyebab. Sama halnya batuk sebagai gejala penyakit flu. Batuk bukan penyebab, tapi gejala penyakit yang terlihat. Kita sendiri tidak bisa melihat virusnya, cuma merasakan akibatnya, yakni batuk atau beringus. Tapi seringkali kita tertukar memilah mana efek dan mana sebab, hanya karena efek yang terlihat lebih mudah dijelaskan. Alasan sesederhana “memang sudah waktunya” dirasa abstrak, teoritis, filosofis, dan mengada-ada.

++++++Nampaknya Dewi kesulitan untuk melakukan pemilahan mana yang merupakan gejala, dan mana yang merupakan penyebab. Jika KDRT dan orang ketiga adalah gejala dan bukan penyebab, jadi penyebabnya apa? Menyerahkan kepada ’memang sudah waktunya’, tidak memiliki penjelasan yang masuk akal. Ini juga menyampaikan lagi pada kita ketidakonsistenan pemikiran dewi. Diatas dia menyampaikan bahwa penyebab batuk adalah virus. Jadi ’bukan sudah waktunya’. Jadi memang alasan ’sudah waktunya’ itu adalah mengada-ada. ++++++++++++

September 2006 adalah momen penyadaran saya dengan Marcell, saat kami merasa bahwa hubungan kami sudah kadaluarsa. Susah sekali kalau disuruh menjelaskan: kok bisa tahu? Tapi kami sama-sama merasakan hal yang sama. Dan pada saat itulah kami memutuskan untuk belajar berpisah, saling melepaskan. Jadi, masalah intinya bukan memaafkan dan memaklumi efek apa yang terlihat, tapi menerima bahwa inilah adanya. Hubungan yang kadaluarsa. Perkembangan yang akhirnya membawa kami ke titik perpisahan. Dan, untuk sampai pada penerimaan ini, dua tahun saya jalani dengan berbagai macam cara: meditasi, penyembuhan diri, dan sebagainya, hingga kami bisa saling melepaskan dengan lapang dada, dengan baik-baik, dengan pengertian, dengan kesadaran.

+++++++++Disini, inkonsistensi dan irrasionalitas dewi dalam berujar semakin jelas . Pada alinea pertama ujarannya, dia mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan akan terajdi perpisahan. Yang kita bisa upayakan adalah mempertahankannya. Pada alinea terakhir ini, setelah sebelumnya kita ‘diarahkan’ dengan berbagai analogi-analogi dari cerita-cerita yang tidak memiliki nilai filosofis, kecuali mengajarkan kepada kita pragmatisme (dalam banyak karya sastra berupa cerita/novel, sangat sedikit sekali yang didalamnya berisi ajaran yang filsafati, kebanyakan adalah pragmatis dan ilusionis), dewi menjadi ‘mengetahui’ bahwa inilah saatnya dia untuk berpisah dengan Marcell. (frase ‘kesadaran’, ‘awareness’, merupakan suatu pengesahan atas kondisi bahwa seseorang mengetahui sesuatu) Pada titik ini, kita melihat hal yang tidak lagi logis. Dewi sudah mulai mematahkan argumennya sendiri. Dewi mensimplifikasikan sebuah kata ’kadaluwarsa’. Padahal, dalam banyak literatur, kata’kadaluwarsa’ ini membutuhkan legalisasi, atau acknowledgement, mengenai apa yang dimaksud dengan kadaluwarsa itu. Kita breakdown ke peristiwa yang dialami dewi.

1. Apa yang menyebabkan hubungan dewi-marcell menjadi kadaluwarsa?
2. Apa parameter kadaluwarsa tersebut?
3. Apakah benar bahwa perpisahan itu disebabkan suatu faktor eksternal yang tidak dapat dikuasai, atau ternyata faktor internal yang sebetulnya bisa di drive?

Ini yang harus dijelaskan oleh Dewi.
Mengapa dia harus menjelaskan ini ? karena dia menggunakan kata kadaluwarsa. Kadaluwarsa, adalah similar dengan expired. Kata ini sama dengan istilah legal dan sah, yang membutuhkan pengakuan pihak lain jika seseorang hendak menyatakan sesuatu itu sah atau legal. Demikian juga istilah kadaluwarsa. Apa yang diungkapkan oleh Dewi dengan menyederhanakan sebuah hubungan sebagai memiliki aspek kadaluwarsa, adalah berbahaya, sebab adopsi terhadap istilah ini akan menimbulkan sebuah postulat baru, yang akan menimbulkan generalisasi terhadap apa yang dialami oleh dewi , menjadi terhadap semua peristiwa percaraian. Penggunaan istilah ini, memerlukan yang namanya generali opinio necesitatis , atau pengakuan publik atas suatu postulat. Nah, untuk memberikan suatu postulat, maka diperlukan pengujian secara ilmiah beserta parameternya. Jika tidak, maka istilah ini tidak memiliki arti. Akan sama artinya dengan istilah posmodernisme ditangan seorang mahasiswa yang baru belajar filsafat. Kemudian, satu hal yang perlu diklarifikasi lagi oleh Dewi. Benarkah kehidupan ada kadaluwarsanya? Jika kita melihat dalam tataran aktivitas, ya. Tapi itu juga perlu rentangan waktu yang tidak prematur. Namun jika kita melihat dalam sisi yang lain, misalnya posesivitas, seringkali makin lama hidup ini memberikan kepada orang kepemilikan yang semakin banyak atas segala sesuatu. Baik itu tangible seperti harta benda, uang dan sebagainya ataupun juga intangible seperti kehormatan, nama besar dan sebagainya. Apalagi, jika kehidupan dilihat dari nilai yang lebih mulia dari itu, misalnya mama Teresa yang tdk punya apa-apa namun hidupnya mulia, tidak seperti Osama Bin Laden, orangnya kaya tapi hidupnya mirip binatang. Bahkan, jika kita merujuk kepada pendapatnya Tan Malaka, bahkan kematian akan membawa kebesaran yang lebih dahsyat (Ini disampaikan oleh Tan Malaka, dalam bukunya MADILOG (Materialisme, Dialektika Logika), bahwa sebelum dia dihukum oleh pemerintah Hongkong, dia berkata “suaraku akan terdengar lebih keras dari dalam kubur”). . Jadi statement atau premis yang disampaikan dewi tentang kadaluwarsa ini perlu untuk dikaji dan diklarifikasi lebih lanjut, sebab tidak memiliki keabsahan secara rasional.+++++++++

Memaafkan bagi saya adalah menerima. Menerima kondisi kami apa adanya. Segala penyebab mengapa sebuah kondisi tercipta, barangkali kita cuma bisa tahu sekian persennya aja. Tidak mungkin diketahui semua. Apalagi dimengerti. Sama halnya saya tidak tahu persis kenapa dulu bisa bertemu dengan Marcell, menikah, dan seterusnya. Fate, atau destiny, menjadi cara manusia menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan. Perpisahan pun sama hukumnya. Meski sepertinya keputusan berpisah ada “di tangan kita”, tapi ada sesuatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

+++++++Kita perlu kejujuran dewi untuk menjelaskan mengapa dia bertemu dengan Marcell. Kita bukanlah makhluk mesin yang tidak memiliki perasaan, ataupun binatang yang tidak memiliki respon terhadap impuls-impuls ataupun rangsangan apapun. Setiap tindakan yang dilakukan manusia, maka normalnya tindakan tersebut memiliki dasar (reasoning ) yang kuat. Saya yakin, ada hal yang diketahui dewi yang membuat dia mau untuk menjalin hubungan dengan Marcell. Jika dia mengatakan bahwa bahwa dia tidak mengetahui mengapa dia bertemu marcell, saya khawatir bahkan dia mungkin tidak tahu siapa dia sekarang (losing identity). Maaf, mungkin kita bahkan perlu mencari tahu seperti apa pergaulan antara Dewi dengan Marcell, atau dengan pacar-pacar terdahulunya dewi, berapa lama rentang waktu antara pernikahan dewi dengan kelahiran anaknya. Hal ini penting untuk mengetahui motif pernikahan antara dewi dengan marcell.+++++++

Namun seringkali konsep “memaafkan” yang kita kehendaki adalah kemampuan untuk mengembalikan situasi ke saat sebelum ada masalah. Alias rujuk lagi seperti dulu. Dan keinginan kami untuk berpisah dianggap sebagai ketidakmampuan kami untuk saling memaafkan. Menurut saya, pemaafan yang sejati hanya bisa diukur oleh masing-masing pribadi, di dalam hatinya sendiri. Dan bagi kami, dalam masalah ini, “memaafkan” tidaklah identik dengan “pengembalian situasi ke kondisi semula”. Dalam proses pemaafan ini, kami pun bertumbuh. Dan di sinilah saya menyadari, juga Marcell, dinamika kami sebagai suami-istri lebih baik disudahi sampai di sini. Kami menemukan wadah yang lebih kondusif untuk menopang dinamika kami sebagai dua manusia, yakni sahabat tanpa wadah pernikahan.

+++++++Mbak dewi, maaf adalah suatu kata yang merupakan katalisator bagi sebuah restorasi atas keadaan yang telah terjadi, dan membuat hal-hal yang sudah terjadi, dianggap tidak signifikan lagi, dan para pihak akan kembali ke tempat mereka semula dalam konstelasi yang sama, sejauh bahwa hal itu diserahkan kepada diri masing-masing. Kecuali bahwa akibat dari suatu peristiwa tersebut mengundang kekuatan eksternal untuk melakukan suatu penindakan, misalnya dalam hal tindak pidana, walau sudah dimaafkan, namun tetap saja seseorang yang mencuri harus dihukum. Namun, sejauh hal itu dikembalikan lagi kepada masing-masing, atau, kalau dalam bahasa hukum, hal tersebut adalah ranah perdata (dalam hal ini perceraian adalah ranah perdata), maka tentunya makna kata maaf semestinya adalah bermakna pula rekonsiliasi, dan bukan keputusan untuk berpisah. Karena, itu menjadi kontradiktif. Jadi, janganlah kita mereduksi makna dari suatu kata. Kecuali, jika kajian kita adalah postmodernisme, maka hal itu menjadi lain, dan diskusi kita juga tentunya akan mengarah kepada yang lain. Namun demikian, pada sisi ini memang sangat perseptif. Dan kita serahkan pada dewi saja.++++++++++++++++++++++

Lantas, orang-orang pun berargumen: semua suami-istri juga pada ujungnya jadi sahabat! Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Bahkan ada suami-istri yang menjadi musuh bagi satu sama lain meski mereka tetap menikah. Ketika sepasang suami-istri menjadi sahabat, mereka tentu bisa merasakan wadah apa yang paling tepat untuk menopang dinamika mereka. Jika pernikahan masih dirasakan sebagai wadah yang pas, maka mereka akan meneruskan persahabatan dalam cangkang pernikahan. Evolusi saya dan Marcell ada di kompartemen yang lain lagi. Cangkang pernikahan tidak lagi kami rasakan sebagai wadah yang “pas”. Jika dijalankan pun, cuma jadi kompensasi sosial yang alasannya bukan lagi kebahagiaan kami, melainkan kebahagiaan masyarakat, keluarga, sahabat, dan seterusnya. Satu opsi yang menurut saya sangat tidak sehat, membunuh pelan-pelan, dan kepalsuan berkepanjangan.

+++++++++Kalau begitu, kemungkinan ’cangkang’ perkawinan memang tidak cocok untuk dewi? Karena, jika dewi percaya kepada komposisi alam semesta yang berjalan menurut ’maksim’nya sendiri, maka sebetulnya tidak ada masalah jika dalam cangkang itu marcell atau bukan, karena kan ketika kita mengambil keputusan untuk masuk ke dalam cangkang itu, maka pastilah kita, terutama dewi sebagai orang yang selama ini dianggap oleh para penggemarnya sebagai orang pintar dan futuristik, sudah paham akan konsekuensinya. Tentunya sudah mempelajari apa itu perkawinan dan segala asesorisnya. Kecuali bahwa perkawinan ini memang hanya ’cangkang’ yang tidak memiliki makna apa-apa buat dewi, ya, berarti ternyata pemahaman anda akan hal kehidupan, ternyata sampai sebegini. Kemudian, mengapa cangkang itu tidak pas? Bahkan mengapa dewi harus melontarkan tuduhan kepada mereka yang memang bisa berjuang mempertahankan perkawinannya sebagai hal yang sia-sia? Ini adalah sebuah metode apologi yang salah, semacam menutupi kesalahan kita dengan menunjuk kepada kesalahan orang lain, supaya orang lain melihat ke arah sana dan tidak melihat ke arah sini. Ada sebuah bahaya dalam statemen ini, karena perkawinan disebut sebagai cangkang yang bisa dicampakkan begitu saja, dan bukan sebuah bangunan rumah yang harus dibangun bersama sebagai tempat berteduh. Mungkin saja bangunannya belum jadi dan kita malah bertengkar tentang kebiasaan kita di rumah. Mungkin bukan rumahnya yang harus dibuang, tetapi kitanya yang harus dicerahkan dan direstorasi+++++

Lantas, bagaimana dengan Keenan? Apakah kebahagiaannya juga tidak kami perhitungkan? Analogi yang barangkali bisa membantu menggambarkan ini adalah petunjuk emergensi di pesawat. Dulu, saya sering bingung, kenapa orang tua disuruh memakai masker oksigen duluan sebelum anaknya. Sekarang saya mengerti, dan setidaknya ini adalah kebenaran bagi saya: kita tidak bisa membahagiakan orang lain sebelum kita sendiri bahagia. Satu buku yang sangat terkenal, “Celestine’s Prophecy”, juga bicara soal ini. Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain. Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi.

Saya menikah bukan karena Keenan, dan kalaupun saya bertahan menikah, seharusnya juga bukan karena Keenan. Karena kalau cuma karena Keenan, dengan demikian saya menaruh beban yang luar biasa besar dan bukan porsinya Keenan, bahkan saya menjadi seseorang yang tidak bertanggungjawab, dengan meletakkan fondasi pernikahan saya pada seorang anak. Ini barangkali bukan pandangan yang umum. Kita tahu betapa banyak orang di luar sana yang bicara bahwa anak harusnya menjadi pengikat, bahkan dasar. Bagi saya, Keenan bukan tali atau fondasi. Dia adalah anak panah yang akan melesat sendiri satu saat nanti. Kewajiban utama saya adalah menjadi manusia yang utuh agar saya bisa membagi keutuhan saya dengan dia. Dan keutuhan jiwa saya tidak saya letakkan dalam pernikahan, tidak juga pada siapa-siapa, melainkan pada diri saya sendiri. Saya hanya bisa bahagia untuk diri saya sendiri. Kalau ada yang lain merasa kecipratan, ya, syukur. Kalau tidak pun bukan urusan saya.

++++++++++Kembali Dewi disini menyampaikan hal yang sesat lagi. Menganggap bahwa eksistensi seseorang seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri adalah hal yang tidak terlalu benar. Edmund Husserl, seorang tokoh filsafat eksistensialisme, menyatakan bahwa setiap eksistensi selalu diiringi dengan ko-eksistensi. Artinya, setiap keberadaan orang dan apa yang dicerapnya, tentu juga akibat pengaruh dari orang lain. Kira-kira merupakan kelanjutan dari ide Cartesian. Fondasi kita memang bukan anak, namun fondasi kita adalah eksistensi-koeksistensi. Bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan koeksistensi etis. Setiap koeksistensi, tidak layak untuk hanya ditanggapi dengan pembiaran. Apalagi jika kita belajar psikologi perkembangan anak, pastilah kita semua tahu apa itu akibatnya dari suatu perceraian. Dan ini ilmiah lho, dapat dipertanggung jawabkan, bukan pendapat sendiri yang validitasnya masih harus kita pertanyakan. Dewi juga mungkin sudah belajar tentang keseimbangan alam versinya new age. Ada suami, ada isteri. Seorang anak, pastilah memiliki ayah dan ibu. Kemudian ekosistem memiliki unsur-unsurnya yang lebih banyak lagi yang menjamin dunia menjadi seimbang. Demikian pula alam semesta. Lalu, bagaimana kalau seorang anak tanpa ayah dan ibu disampingnya sebagaimana ditetapkan versinya keseimbangan alam? Pastilah sudah tidak seimbang. Dan ingat, dewi berkontribusi menciptakan ketidakseimbangan dalam alam semesta, dan terutama, dalam hidup seorang anak bernama Keenan++++++

Di dunia di mana seorang martir selalu memperoleh citra istimewa, apa yang saya ungkap barangkali terdengar egois. Sama seperti narasi yang kerap digaungkan infotainment, yang berbicara soal kebahagiaan anak bernama Keenan dan “hatinya yang terkoyak karena keegoisan ayah-bundanya” , seorang anak yang tidak mereka kenal sama sekali tapi mereka berbicara seolah bisa menembus ke dalam hatinya. Padahal, kalau direnungi dalam-dalam, sesungguhnya kita tidak pernah berbuat sesuatu untuk orang lain, meski kita berpikir demikian. Kita berbuat sesuatu karena itulah yang kita anggap benar bagi diri kita sendiri. Dan kebenaran ini sangatlah relatif. Jika ada 6,5 miliar manusia di dunia, maka ada 6,5 miliar kebenaran dan ukuran kebahagiaan. Norma berubah, agama berubah, sains berubah, segalanya berubah dan tidak pernah sama. Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah, dan tidak statis.

++++++++Sesungguhnya, menurut saya, sains, agama secara esensial dan fundamental tidak berubah. Yang terlihat sebagai perubahan mungkin adalah derivasinya. Mana ada sains jaman ini yang tidak merupakan derivasi dari sains yang terdahulu? Jika kita menggunaan psotulat revolusi sainsnya Karl Raimund Popper ataupun Thomas Kuhn, maka kita tetap akan melihat suatu korelasi derivatif dari Ilmu Pengetahuan. Namun tetap saja ada nilai-nilai yang tidak berubah. Misalnya ukuran meter dan sekon. Ini tidak berubah. Yang berubah adalah derivasinya. Meter bisa menjadi pixel. Sekon bisa menjadi milisekon. Kemudian postulat Newton, juga tidak berubah. Yang berubah pastilah derivasinya. Bahkan jika kita meninjuanya sampai ke Hawking. Demikian juga untuk ukuran moral. Ada yang tidak berubah. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri, nampaknya tidak akan berubah sebagai nilai yang positif. Menjadi martir juga tetap akan memiliki nilai yang positif. Egoisme, tetap akan memiliki nilai yang tidak positif, kecuali dalam konsep ubermenschnya Nietzsche, orang yang berakhir dengan kegilaan itu++++++++++++++++++++++++

Membahagiakan Keenan, keluarga, para penggemar, masyarakat, juga menjadi keinginan saya. Tapi saya pun tidak bisa selamanya mencegah mereka semua dari ketidakbahagiaan. Karena apa? Seseorang berbahagia karena dirinya sendiri. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tapi internal. Ilustrasinya begini, dua orang sama-sama dikasih apel, yang satu bahagia karena memang suka apel, yang lain kecewa karena sukanya durian. Berarti bukan apelnya yang bisa bikin bahagia, tapi reaksi hati seseoranglah yang menentukan. Yang tidak suka apel baru bisa bahagia kalau akhirnya dia bisa menerima bahwa yang diberikan kepadanya adalah apel dan bukan durian—sebagaimana yang dia inginkan. Alias menerima kenyataan. Saya tidak bisa membuat siapa pun berbahagia, sekalipun saya ingin berpikir demikian. Kenyatannya, hanya dirinya sendirilah yang bisa. Saya hanya bisa menolong dan memberikan apa yang orang tersebut butuhkan, SEJAUH yang saya bisa. Namun saya tidak memegang kendali apa pun atas kebahagiaannya.

+++++++++++jika memang kebahagiaan tidak ditentukan oleh mekanisme eksternal, lalu mengapa dewi tidak menerima saja segala sesuatu dalam pernikahan ini? Kenapa harus bercerai? Kan bisa juga kebahagiaan karena kita memang merasa bahagia, tidak perduli sejauh apapun itu pahitnya terasa kehidupan ini. Jadi, sekali lagi kita diperhadapkan dengan kontradiksi antara pernyataan dewi dengan keputusan yang diambilnya. Namun, saya tetap mempercayai bahwa dalam dialektika, selalu ada kemungkinan pengaruh eksternal dalam hidup kita. Ingat, bahwa eksistensi selalu mengandung koeksistensi. Demikian juga respon kita, akan dipengaruhi oleh dua hal tersebut. Tidak perlu membahagiakan orang lain, cukup memenuhi tanggung jawab saja sebagai orang yang sudah mengambil keputusan untuk menikah dan punya anak. Belum tentu juga yang orang tuanya lengkap merasakan kebahagiaan. Namun, poinnya saya kir bukan disitu, tapi responsibility saja. Bayangkan sebuah dunia tanpa manusia yang bertanggung jawab, pastilah akan hancur. Dan tanggung jawab itu bisa dinilai dari ukuran yang kecil seperti bertanggung jawab terhadap keluarga dan sebagainya. Sebab, jika kebahagiaan diukur hanya dengan aspek internal, maka saya khawatir ini akan membawa kepada ekstrem yang lain. Kita berbuat sesukanya saja kepada orang lain, toh apakah dia merasa tersakiti atau tidak dengan perbuatan kita, adalah keputusan dia sendiri, bukan karena kita menyakiti orang lain. Dalam sisi ekstrem yang lain, bahkan membunuh orang menjadi halal, karena bisa saja bermakna pembebasan, seperti yang dilakukan oleh seorang ibu di Margahayu Bandung ketika membunuh ketiga orang anaknya dengan alasan menghindari konsekuensi penderitaan bagi anaknya di masa yang akan datang++++++++++++++

Seseorang lantas mampir ke blog ini dan bertanya: Tuhan seperti apa yang saya anut? Karena kasih Tuhan seharusnya mengingatkan saya untuk terus bersatu, sebab tidak ada Tuhan yang menyukai perpisahan. Bagi saya, Tuhan berada di luar ranah suka dan tak suka. Jika dunia ini berjalan hanya berdasarkan kesukaan Tuhan, dan Tuhan hanya suka yang baik-baik saja, mengapa kita dibiarkan hidup dengan peperangan, dengan air mata, dengan patah hati, dengan ketidakadilan, dengan kejahatan? Mengapa harus ada hitam bersanding dengan putih? Lantas, kalau ada orang yang kemudian berargumen bahwa bagian hitam bukan jatahnya Tuhan tapi Setan, maka jelas Tuhan yang demikian bukan Yang Maha Kuasa. Ia menjadi terbatas, kerdil, dan sempit. Bagi saya, Tuhan ada di atas hitam dan putih, sekaligus terjalin di dalam keduanya. Tidak ada yang bukan Tuhan. Ia tak mengenal konsep “kecuali”.

+++++++++Justru, anda mengkerdilkan Tuhan. Dan ini tidak logis. Tuhan menjadi nir nilai. Bagaimana kita menerangkan tuhan yang tanpa nilai? Bahkan , sekali lagi ini menyangkali logika dialektika, bahwa ada yang baik, ada yang jahat. Ada Tuhan, dan ada setan. Kok jadi banyak yang tidak logisnya ya? Dan, menurut saya terlalu jauh jika diskusinya menyangkut Tuhan. Tidak ada peran Tuhan dalam urusan dewi ini. Semuanya adalah keputusan dewi sendiri. Berusaha melibatkan Tuhan dalam urusan ini, menunjukkan bahwa kita tidak memahami Tuhan. Apalagi berusaha menafsirkan kejadian-kejadian tertentu (air mata, patah hati, ketidakadilan, kejahatan) sebagai perbuatan Tuhan atau pembiaran dari Tuhan+++++++

Selama beberapa hari terakhir, begitu banyak pesan dan komentar yang dilayangkan pada kami. Dari mulai bertanya, kecewa, prihatin, sedih, kaget, bahkan bak seorang Nabi bernubuat, ada yang meramalkan ini-itu sebagai konsekuensi keputusan kami. Tak sedikit juga yang memilih tidak berkomentar dan bertanya, hanya memberi dukungan. Kami berterima kasih untuk semua. Kami pun tak meminta banyak, hanya satu hal: hargai keputusan kami. Yang kami selamatkan di sini bukan “keutuhan keluarga” melainkan keutuhan hati dan jiwa masing-masing. Karena buat kami, itu lebih penting daripada keluarga utuh tapi dalamnya rapuh. Maaf jika itu membuat beberapa dari Anda kecewa. Saya juga mengerti begitu banyak yang berupaya mendorong kami untuk terus berusaha, mempertanyakan usaha kami, dan bereaksi seolah-olah kami memutuskan keputusan ini dalam semalam. Sungguh, ini bukan keputusan “kemarin sore”. Kita semua tahu keputusan bercerai adalah keputusan yang besar. Intinya, terima kasih atas perhatiannya, dan mari kita kembali urus diri masing-masing.

++++++++++Nah, disini baru kelihatan aslinya. Bahwa dewi memang ’mengambil keputusan’ untuk bercerai. Jadi , bukan karena ’memang harus begitu’, tetapi lebih kepada ’inilah pilihan kami’, untuk menyelamatkan keutuhan hati dan jiwa masing-masing. Kata masing-masing, tentunya menyiratkan adanya ego. Sebab, kata ’keluarga’ dengan kata ’masing-masing’, memiliki makna yang agak diametral. Jika keluarga memiliki identitas bersama (plural/korporat), maka masing-masing bermakna pribadi(ego/singular/monolitik). Perkataan kembali urus diri masing-masing juga semakin menyiratkan bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan masing-masing, bukan karena ’kadaluwarsa’, atau karena ’kodrat’ dan sebagainya. Disini baru terlihat aslinya dewi. Itu seharusnya yang a tonjolkan, bukan berusaha untuk membuat dia ’innocent’ dan berusaha menampilkan sosok bijaksana. Dewi adalah bagian dari milyaran manusia biasa seperti saya dan kita semua. Jadi, tidak perlu memberikan penjelasan yang njlimet, karena akhirnya ketahuan juga aslinya+++++++

Saya bukan penonton infotainment dan juga bukan pembaca tabloid, tapi dari beberapa info yang kebetulan sampai ke pengamatan saya, bisa disimpulkan bahwa manusia begitu haus drama. Mungkin karena itulah kita begitu rajin membuat sinetron dengan akting-akting berlebihan dan cerita-cerita ekstrem, karena hanya dengan cara demikianlah kita bisa menerima realitas. Kita begitu terbiasa dengan drama dan tragedi. Kondisi di mana saya dan Marcell bisa duduk berdampingan, berpisah dengan baik-baik, seolah-olah terlewatkan sebagai buah upaya kami yang nyata karena semua orang sibuk mengedepankan pertunjukan teater versinya masing-masing. Apa pun yang saya katakan, pada akhirnya selalu dibingkai narasi, entah lisan atau tulisan, yang merupakan ramuan opini si penulis naskah. Itulah yang akhirnya membuat saya dan Marcell lebih banyak tertawa sendiri, pers hiburan rasanya seperti servis sosial di mana kami mengumpankan dongeng untuk kepentingan hajat hidup mereka, bukan lagi berbagi kebenaran. Dengan info-info sepotong yang mungkin lebih banyak asumsinya ketimbang faktanya, mereka bisa merangkai pertunjukan teater apa pun yang mereka mau. Dan itulah yang menghibur. Sisanya? Kenyataan yang membosankan. Nyata, tapi tidak seru. Dan bukan itu yang orang mau.

++++++++++Ah Dewi, kan kamu juga memanfaatkan kehausan publik akan drama, makanya kamu buat novel, cerita, dan bahkan lagu-lagu kamu semasa di RSD, juga penuh dengan dramatisasi. Jangan membuat seolah-olah kamu tidak setuju dengan dramatisasi, tapi kamu hidup dari situ.++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

saya ditunjukkan tabloid C&R yang terbaru. Kami berdua menjadi sampul depan, dengan laporan empat halaman. Saya sempat tercengang karena mereka mengutip hal yang tidak pernah saya lontarkan, menuliskan pertanyaan yang tidak pernah mereka tanyakan, tapi ditulis sedemikian rupa seolah terjadi dialog langsung antara saya dan penulis/wartawan (Fitriawan Ginting - RED). Bahkan, mereka menuliskan alamat rumah saya dengan lengkap, tanpa izin terlebih dahulu. Plus, ditambah unsur-unsur dramatis bahwa kepindahan saya adalah untuk “mengubur masa lalu”. Padahal saya berencana pindah sejak tahun lalu karena semata-mata alasan pekerjaan. Tidak hanya mereka menulis sesuai dengan bingkai yang mereka mau, bahkan untuk mengepas “gambar realitas” ke bingkai tersebut, mereka melakukan hal yang tidak etis. Saya tidak tahu fungsi dari alamat lengkap saya untuk bumbu berita mereka, tapi mereka menuliskannya seolah tidak berpikir bahwa hal tersebut menyangkut isu sekuritas, dan juga privasi. Media seharusnya tidak memberikan alamat seseorang begitu saja. Sejauh saya berkarier, pihak media selalu meminta izin jika ingin memberikan alamat. Entah zaman yang sudah berubah, atau privasi sudah jadi kata-kata kosong dalam realm pers hiburan.

Beberapa debat dan diskusi di internet pun merebak, bahkan terkadang menjadi pengadilan tak resmi. Ada banyak nama yang disebut, dispekulasikan, dan sampai didiskreditkan. Orang-orang yang juga punya kehidupan, keluarga, karier, dan privasi. Sekalipun dengan tegas saya dan Marcell mengatakan bahwa alasan kami berpisah bukan karena pihak ketiga atau ketujuhbelas, tapi seperti angin lalu, mereka tak jemu mengorek sana-sini, termasuk ke sahabat-sahabat terdekat saya. So, seriously, they don’t have any concern for the truth. They have concern on “stories”. Lucu. Yang menjalani saja santai-santai, yang kebakaran jenggot malah orang-orang lain. Jika dilihat secara keseluruhan, sesungguhnya inilah dagelan kita bersama. Barangkali demikian juga halnya nasib semua berita hiburan (bahkan non-hiburan) yang beredar selama ini.

Lalu, hendak ke mana setelah ini? Saya tidak tahu. Apakah akan ada penyesalan? Saya tidak tahu. Apa pun yang menanti saya sesudah ini, itulah konsekuensi, tanggung jawab, dan karma saya. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah saya, dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi saya, itu sudah cukup. Bagi saya, itulah bentuk kesadaran.

++++++++++Nah, ini juga menunjukkan fakta yang lain. Artinya, kemungkinan besar Dewi emang tidak tahu lagi siapa dirinya, kemana ia akan pergi atau kemana sebenarnya ia pergi selama ini dan bagaimana dia harus berbuat. Itulah yang menyebabkan dia bercerai. ‘Tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat’. Ini adalah sebuah ’escape clause’, kalusul pelarian. Lari ke ’ketidaktahuan’. Ini juga aspek dramatisasi dari Dewi yang disajikan kepada kita+++++++++++++++++++++++++++++

Jadi, kalau pertanyaan emas itu kembali dilontarkan: apa penyebab Dewi dan Marcell bercerai? Mereka sadar, menerima, dan memaafkan… bahwa hidup telah membawa mereka ke titik perpisahan.

+++++++++Lagi-lagi kata ’maaf’, ’sadar’, sudah dilibatkan dalam perdebatan diantara mereka sendiri. Diantara kata-kata itu sendiri. Bahwa hidup membawa mereka ke titik perpisahan. Namun, seperti ungkapan dewi diatas, mengapa mereka tidak sadar dan menerima bahwa tugas kita manusia adalah untuk mempertahankan supaya tidak berpisah dan tidak punya hak untuk memutuskan mengenai kapan harus berpisah?++++++++++

Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti mengapa label-label itu muncul. Kebenaran kadang memang sukar dipahami. Hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya kita berusaha mendefinisikan Cinta. Pada akhirnya, kita cuma bisa merasakan akibatnya.

++++++++++++Abstrak? Mungkin iya. Karena dewi berusaha untuk membuatnya terlihat seperti itu. Uraian yang memiliki kontradiksi didalamnya pastilah akan terlihat abstrak. Tapi, apakah penjelasan ini memiliki makna filosofis? Tidak. Sebenarnya Dengan melontarkan pertanyaan seperti itu, dewi sudah melakukan fait accompli, yaitu dia mempersepsikan bahwa orang yang membaca tulisan ini akan menganggap uraian dia filosofis, dan teoritis. Padahal sama sekali ini adalah ungkapan pragmatis yang dicoba untuk dikemas secara lebih abstrak. Penjelasan dewi ini sebenarnya dangkal, banal (B-A-N-A-L). Mengapa? Sebab dia berputar-putar untuk menutupi kondisi sebenarnya dan apa yang sebenarnya terjadi. Dewi ingin mempertahankan gembaran dirinya sebagaimana mungkin sudah tergambar dalam karya-karyanya. Dewi ingin terlihat wise, dan bahkan berusaha mempengaruhi orang agar mengikuti pemikirannya. Sayangnya, uraian dewi kurang begitu dikemas dengan cerdas, sehingga, dari uraiannya saja sudah terbongkar bahwa paparan ini penuh dengan kontradiksi yang tidak logis. Walau dibungkus dengan tata bahasa yang mirip ’maksim’, tetap saja bagi mereka yang melakukan verifikasi secara mendalam, akan menemukan kedangkalan seorang dewi dalam pemaparannya. Saya belum pernah membaca bukunya Dewi. Tapi, orang menganggap bahwa buku Dewi itu memberi pencerahan, agak saintifik dan sebagainya. Namun dari paparannya yang kita baca hari ini, ternyata Dewi tidak sehebat itu. Mungkin Moammar Emka lebih oke, ketika saya melihat debatnya di TV swasta beberapa waktu yang lalu+++++++++++++++++++++++++++

+++++++++++Mengapa saya tertarik untuk mengomentari tulisan dewi ini? Pertama, karena tuliasn ini mampir di e-mail saya. dikirim oleh seseorang. Kedua, karena ada bahaya mengintai. Dia mencoba untuk mengarahkan opini masyarakat tentang suatu lembaga yang namanya perkawinan, menjadi lembaga yang tidak memiliki nilai sama sekali, kecuali hanaylah sebuah hubungan perdata saja. Dan, bahwa tanggung jawab untuk anak, diserahkan kepada anak itu sendiri. Ini bahaya. Apalagi keluar dari seorang public figure semacam dia. Alasan lain, saya tidak ingin masyarakat juga terbawa dalam logika yang amburadul versinya Dewi Mangunsong. Saya khawatir nanti masyarakat kita tidak lagi paham apa itu logika karenanya++

++++++++++Saran : sebaiknya Dewi menyampaikan kepada publik bahwa ini adalah keputusan saya, untuk kepentingan saya, urusan saya, dan anda urus diri anda sendiri, gitu. Daripada membuat psotulat-postulat baru yang membawa generalitas kasus pribadi yang sebenarnya harus dipandang secara kasuistik, dan tidak memiliki keabsahan untuk digeneralisasi sebagai ’destiny’ nanti, orang berbondong-bondong cerai. Kan sudah ’destiny’.+++

Winner Jhonshon,
Advokat dan Mahasiswa
Di Bandung

WINNER said...

ini catatannya dewi dan komentar saya…
Catatan Tentang Perpisahan

Perpisahan, sebagaimana kematian, adalah hal yang paling dihindari manusia. Padahal sama seperti pertemuan dan kelahiran, kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah. Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima mati.

+++++Dewi berusaha untuk memulai pemaparannya (apologi/pembelaannya) dengan baik. Disini dia memulai dengan dialektika, yaitu jika ada perjumpaan, pasti ada perpisahan. Jika ada saya pasti karena ada kamu. Jika ada muda, pasti karena ada yang tua. Logika Cartesian ini, yang diperkenalkan oleh Rene Descartes (seorang filsuf Yunani), mengawali ’pencerahan’ dari sang dewi ini. Kemudian, dia juga memaparkan suatu hal yang akan membawa perdebatan dalam pemaparannya dalam tahap selanjutnya. Perdebatan itu sendiri terjadi diantara teks-teks yang disampaikannya (among themselves), dan bukan pada kita pembaca. Kalimat-kalimat Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima mati, telah membuka celah bagi diskusi dan dari sejak awal dia sudah mematahkan argumen-argumen yang akan dia paparkan dalam episode apologi berikutnya. Mari kita tengok isi kalimat itu. Dewi tidak pernah tahu kapan dia akan mengalami perpisahan atau kematian. Artinya, tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan waktunya bagi dia untuk berpisah. Yang harus dilakukan adalah bertahan. Demikian juga bahwa dari logika sedemikian ini, kiranya sah pula pernyataan berikutnya, yaitu bahwa dengan demikian maka tidak ada seorang pun juga yang berhak untuk menentukan kapan waktunya bagi dia untuk berpisah. Jadi, yang dilakukan oleh manusia adalah berusaha mempertahankannya. Dan mestinya, manusia hanya sampai pada tahap itu, dan bukan pada tahap mengambil keputusan untuk berpisah, apapun alasannya.
Kedua, dewi ini tidak lengkap menerangkan bahwa dalam sebuah peristiwa, sebagaimana juga dialektika itu terjadi, yaitu ada perjumpaan, ada perpisahan, ada muda , ada tua. Ada lahir , ada mati. Ketika dialektika itu harus berjalan, satu hal yang harus kita pahami, bahwa dalam hal itu pasti ada variabel pendukungnya. Kematian, variablenya bisa penyakit, bisa juga karena pembunuhan. Penyakit itu juga variabelnya bisa beberapa, bisa karena kemiskinan, kurang makan, atau juga bisa saja karena terlalu kaya lantas bisa stroke. Lalu, peristiwa atau keadaan yang namanya kemiskinan, bisa disebabkan oleh kondisi alam yang tidak mendukung, atau karena kemalasan. Jika kita urut lebih jauh lagi, maka akan ada urutan peristiwa yang sangat panjang, dan variabel/premis pendukungnya bisa ribuan. Setiap peristiwa atau keadaan, ada faktor pendukungnya. Jadi, peristiwa perpisahan juga ada variabelnya. Apakah karena dipisahkan oleh Tuhan (kematian) atau perpisahan karena faktor manusianya. Inilah objek obervasi kita atau objek verifikasi kita atas argumen dewi selanjutnya.
Jadi, dari pernyataan dewi, ada dua konklusi penting yang harus kita jadikan pisau penguji dan patokan dalam mengkritisi pendapat beliau berikutnya, yaitu :

++++1. bahwa tidak ada seorangpun yang tahu kapan akan mengalami perpisahan. Dengan demikian, tidak sah pula kewenangan seeorang untuk menyatakan kapan waktunya untuk perpisahan. Kecuali kita memandang bahwa itu bukanlah sebuah perpisahan yang ’memang seharusnya’, tetapi lebih kepada keputusan manusia.
++++2. bahwa dalam setiap peristiwa atau keadaan, pastilah ada variabel pendukungnya. Tidak mungkin sebuah peristiwa terjadi begitu saja. Tinggal diverifikasi, apakah penyebabnya adalah alam, Tuhan, atau ternyata manusia itu sendiri.++++++++

Saya sempat termenung melihat salah satu adegan dalam film “Earth” di mana seekor kijang berlari sekuat tenaganya hingga pada satu titik dia begitu berpasrah saat digigit oleh harimau, menghadapi kematiannya dengan alami. Adegan yang tadinya begitu mencekam akhirnya bisa berubah indah saat kita mampu mengapresiasi kepasrahan sang kijang terhadap kekuatan yang lebih besar darinya. Persis bagaikan kijang yang berlari, manusia dengan segala macam cara juga menghindari kematian. Orang yang sudah tidak berfungsi pun masih ditopang oleh segala macam mesin agar bisa hidup. Perpisahan tak terkecuali. Kita pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan terlebih dahulu. Namun, sebagaimana kijang yang akhirnya berlutut pasrah, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, jika ucapan selamat tinggal siap terlontar. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti.

Dalam semua hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun saya percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa, hubungan pun sama. Jika tidak, semua orang tidak akan pernah mati dan semua orang tidak pernah ganti pacar dari pacar pertamanya. Kita bisa bilang, putusnya hubungan A karena dia selingkuh, karena bosan, karena ketemu orang lain yang lebih menarik, belum jodoh, dan masih banyak lagi. Padahal intinya satu, jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.

Jadi, semua faktor yang selama ini diabsahkan orang-orang sebagai penyebab perpisahan (orang ketiga, KDRT, tidak dinafkahi, dan lain-lain) menurut saya sebenarnya adalah gejala yang terlihat, bukan penyebab. Sama halnya batuk sebagai gejala penyakit flu. Batuk bukan penyebab, tapi gejala penyakit yang terlihat. Kita sendiri tidak bisa melihat virusnya, cuma merasakan akibatnya, yakni batuk atau beringus. Tapi seringkali kita tertukar memilah mana efek dan mana sebab, hanya karena efek yang terlihat lebih mudah dijelaskan. Alasan sesederhana “memang sudah waktunya” dirasa abstrak, teoritis, filosofis, dan mengada-ada.

++++++Nampaknya Dewi kesulitan untuk melakukan pemilahan mana yang merupakan gejala, dan mana yang merupakan penyebab. Jika KDRT dan orang ketiga adalah gejala dan bukan penyebab, jadi penyebabnya apa? Menyerahkan kepada ’memang sudah waktunya’, tidak memiliki penjelasan yang masuk akal. Ini juga menyampaikan lagi pada kita ketidakonsistenan pemikiran dewi. Diatas dia menyampaikan bahwa penyebab batuk adalah virus. Jadi ’bukan sudah waktunya’. Jadi memang alasan ’sudah waktunya’ itu adalah mengada-ada. ++++++++++++

September 2006 adalah momen penyadaran saya dengan Marcell, saat kami merasa bahwa hubungan kami sudah kadaluarsa. Susah sekali kalau disuruh menjelaskan: kok bisa tahu? Tapi kami sama-sama merasakan hal yang sama. Dan pada saat itulah kami memutuskan untuk belajar berpisah, saling melepaskan. Jadi, masalah intinya bukan memaafkan dan memaklumi efek apa yang terlihat, tapi menerima bahwa inilah adanya. Hubungan yang kadaluarsa. Perkembangan yang akhirnya membawa kami ke titik perpisahan. Dan, untuk sampai pada penerimaan ini, dua tahun saya jalani dengan berbagai macam cara: meditasi, penyembuhan diri, dan sebagainya, hingga kami bisa saling melepaskan dengan lapang dada, dengan baik-baik, dengan pengertian, dengan kesadaran.

+++++++++Disini, inkonsistensi dan irrasionalitas dewi dalam berujar semakin jelas . Pada alinea pertama ujarannya, dia mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan akan terajdi perpisahan. Yang kita bisa upayakan adalah mempertahankannya. Pada alinea terakhir ini, setelah sebelumnya kita ‘diarahkan’ dengan berbagai analogi-analogi dari cerita-cerita yang tidak memiliki nilai filosofis, kecuali mengajarkan kepada kita pragmatisme (dalam banyak karya sastra berupa cerita/novel, sangat sedikit sekali yang didalamnya berisi ajaran yang filsafati, kebanyakan adalah pragmatis dan ilusionis), dewi menjadi ‘mengetahui’ bahwa inilah saatnya dia untuk berpisah dengan Marcell. (frase ‘kesadaran’, ‘awareness’, merupakan suatu pengesahan atas kondisi bahwa seseorang mengetahui sesuatu) Pada titik ini, kita melihat hal yang tidak lagi logis. Dewi sudah mulai mematahkan argumennya sendiri. Dewi mensimplifikasikan sebuah kata ’kadaluwarsa’. Padahal, dalam banyak literatur, kata’kadaluwarsa’ ini membutuhkan legalisasi, atau acknowledgement, mengenai apa yang dimaksud dengan kadaluwarsa itu. Kita breakdown ke peristiwa yang dialami dewi.

1. Apa yang menyebabkan hubungan dewi-marcell menjadi kadaluwarsa?
2. Apa parameter kadaluwarsa tersebut?
3. Apakah benar bahwa perpisahan itu disebabkan suatu faktor eksternal yang tidak dapat dikuasai, atau ternyata faktor internal yang sebetulnya bisa di drive?

Ini yang harus dijelaskan oleh Dewi.
Mengapa dia harus menjelaskan ini ? karena dia menggunakan kata kadaluwarsa. Kadaluwarsa, adalah similar dengan expired. Kata ini sama dengan istilah legal dan sah, yang membutuhkan pengakuan pihak lain jika seseorang hendak menyatakan sesuatu itu sah atau legal. Demikian juga istilah kadaluwarsa. Apa yang diungkapkan oleh Dewi dengan menyederhanakan sebuah hubungan sebagai memiliki aspek kadaluwarsa, adalah berbahaya, sebab adopsi terhadap istilah ini akan menimbulkan sebuah postulat baru, yang akan menimbulkan generalisasi terhadap apa yang dialami oleh dewi , menjadi terhadap semua peristiwa percaraian. Penggunaan istilah ini, memerlukan yang namanya generali opinio necesitatis , atau pengakuan publik atas suatu postulat. Nah, untuk memberikan suatu postulat, maka diperlukan pengujian secara ilmiah beserta parameternya. Jika tidak, maka istilah ini tidak memiliki arti. Akan sama artinya dengan istilah posmodernisme ditangan seorang mahasiswa yang baru belajar filsafat. Kemudian, satu hal yang perlu diklarifikasi lagi oleh Dewi. Benarkah kehidupan ada kadaluwarsanya? Jika kita melihat dalam tataran aktivitas, ya. Tapi itu juga perlu rentangan waktu yang tidak prematur. Namun jika kita melihat dalam sisi yang lain, misalnya posesivitas, seringkali makin lama hidup ini memberikan kepada orang kepemilikan yang semakin banyak atas segala sesuatu. Baik itu tangible seperti harta benda, uang dan sebagainya ataupun juga intangible seperti kehormatan, nama besar dan sebagainya. Apalagi, jika kehidupan dilihat dari nilai yang lebih mulia dari itu, misalnya mama Teresa yang tdk punya apa-apa namun hidupnya mulia, tidak seperti Osama Bin Laden, orangnya kaya tapi hidupnya mirip binatang. Bahkan, jika kita merujuk kepada pendapatnya Tan Malaka, bahkan kematian akan membawa kebesaran yang lebih dahsyat (Ini disampaikan oleh Tan Malaka, dalam bukunya MADILOG (Materialisme, Dialektika Logika), bahwa sebelum dia dihukum oleh pemerintah Hongkong, dia berkata “suaraku akan terdengar lebih keras dari dalam kubur”). . Jadi statement atau premis yang disampaikan dewi tentang kadaluwarsa ini perlu untuk dikaji dan diklarifikasi lebih lanjut, sebab tidak memiliki keabsahan secara rasional.+++++++++

Memaafkan bagi saya adalah menerima. Menerima kondisi kami apa adanya. Segala penyebab mengapa sebuah kondisi tercipta, barangkali kita cuma bisa tahu sekian persennya aja. Tidak mungkin diketahui semua. Apalagi dimengerti. Sama halnya saya tidak tahu persis kenapa dulu bisa bertemu dengan Marcell, menikah, dan seterusnya. Fate, atau destiny, menjadi cara manusia menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan. Perpisahan pun sama hukumnya. Meski sepertinya keputusan berpisah ada “di tangan kita”, tapi ada sesuatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

+++++++Kita perlu kejujuran dewi untuk menjelaskan mengapa dia bertemu dengan Marcell. Kita bukanlah makhluk mesin yang tidak memiliki perasaan, ataupun binatang yang tidak memiliki respon terhadap impuls-impuls ataupun rangsangan apapun. Setiap tindakan yang dilakukan manusia, maka normalnya tindakan tersebut memiliki dasar (reasoning ) yang kuat. Saya yakin, ada hal yang diketahui dewi yang membuat dia mau untuk menjalin hubungan dengan Marcell. Jika dia mengatakan bahwa bahwa dia tidak mengetahui mengapa dia bertemu marcell, saya khawatir bahkan dia mungkin tidak tahu siapa dia sekarang (losing identity). Maaf, mungkin kita bahkan perlu mencari tahu seperti apa pergaulan antara Dewi dengan Marcell, atau dengan pacar-pacar terdahulunya dewi, berapa lama rentang waktu antara pernikahan dewi dengan kelahiran anaknya. Hal ini penting untuk mengetahui motif pernikahan antara dewi dengan marcell.+++++++

Namun seringkali konsep “memaafkan” yang kita kehendaki adalah kemampuan untuk mengembalikan situasi ke saat sebelum ada masalah. Alias rujuk lagi seperti dulu. Dan keinginan kami untuk berpisah dianggap sebagai ketidakmampuan kami untuk saling memaafkan. Menurut saya, pemaafan yang sejati hanya bisa diukur oleh masing-masing pribadi, di dalam hatinya sendiri. Dan bagi kami, dalam masalah ini, “memaafkan” tidaklah identik dengan “pengembalian situasi ke kondisi semula”. Dalam proses pemaafan ini, kami pun bertumbuh. Dan di sinilah saya menyadari, juga Marcell, dinamika kami sebagai suami-istri lebih baik disudahi sampai di sini. Kami menemukan wadah yang lebih kondusif untuk menopang dinamika kami sebagai dua manusia, yakni sahabat tanpa wadah pernikahan.

+++++++Mbak dewi, maaf adalah suatu kata yang merupakan katalisator bagi sebuah restorasi atas keadaan yang telah terjadi, dan membuat hal-hal yang sudah terjadi, dianggap tidak signifikan lagi, dan para pihak akan kembali ke tempat mereka semula dalam konstelasi yang sama, sejauh bahwa hal itu diserahkan kepada diri masing-masing. Kecuali bahwa akibat dari suatu peristiwa tersebut mengundang kekuatan eksternal untuk melakukan suatu penindakan, misalnya dalam hal tindak pidana, walau sudah dimaafkan, namun tetap saja seseorang yang mencuri harus dihukum. Namun, sejauh hal itu dikembalikan lagi kepada masing-masing, atau, kalau dalam bahasa hukum, hal tersebut adalah ranah perdata (dalam hal ini perceraian adalah ranah perdata), maka tentunya makna kata maaf semestinya adalah bermakna pula rekonsiliasi, dan bukan keputusan untuk berpisah. Karena, itu menjadi kontradiktif. Jadi, janganlah kita mereduksi makna dari suatu kata. Kecuali, jika kajian kita adalah postmodernisme, maka hal itu menjadi lain, dan diskusi kita juga tentunya akan mengarah kepada yang lain. Namun demikian, pada sisi ini memang sangat perseptif. Dan kita serahkan pada dewi saja.++++++++++++++++++++++

Lantas, orang-orang pun berargumen: semua suami-istri juga pada ujungnya jadi sahabat! Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Bahkan ada suami-istri yang menjadi musuh bagi satu sama lain meski mereka tetap menikah. Ketika sepasang suami-istri menjadi sahabat, mereka tentu bisa merasakan wadah apa yang paling tepat untuk menopang dinamika mereka. Jika pernikahan masih dirasakan sebagai wadah yang pas, maka mereka akan meneruskan persahabatan dalam cangkang pernikahan. Evolusi saya dan Marcell ada di kompartemen yang lain lagi. Cangkang pernikahan tidak lagi kami rasakan sebagai wadah yang “pas”. Jika dijalankan pun, cuma jadi kompensasi sosial yang alasannya bukan lagi kebahagiaan kami, melainkan kebahagiaan masyarakat, keluarga, sahabat, dan seterusnya. Satu opsi yang menurut saya sangat tidak sehat, membunuh pelan-pelan, dan kepalsuan berkepanjangan.

+++++++++Kalau begitu, kemungkinan ’cangkang’ perkawinan memang tidak cocok untuk dewi? Karena, jika dewi percaya kepada komposisi alam semesta yang berjalan menurut ’maksim’nya sendiri, maka sebetulnya tidak ada masalah jika dalam cangkang itu marcell atau bukan, karena kan ketika kita mengambil keputusan untuk masuk ke dalam cangkang itu, maka pastilah kita, terutama dewi sebagai orang yang selama ini dianggap oleh para penggemarnya sebagai orang pintar dan futuristik, sudah paham akan konsekuensinya. Tentunya sudah mempelajari apa itu perkawinan dan segala asesorisnya. Kecuali bahwa perkawinan ini memang hanya ’cangkang’ yang tidak memiliki makna apa-apa buat dewi, ya, berarti ternyata pemahaman anda akan hal kehidupan, ternyata sampai sebegini. Kemudian, mengapa cangkang itu tidak pas? Bahkan mengapa dewi harus melontarkan tuduhan kepada mereka yang memang bisa berjuang mempertahankan perkawinannya sebagai hal yang sia-sia? Ini adalah sebuah metode apologi yang salah, semacam menutupi kesalahan kita dengan menunjuk kepada kesalahan orang lain, supaya orang lain melihat ke arah sana dan tidak melihat ke arah sini. Ada sebuah bahaya dalam statemen ini, karena perkawinan disebut sebagai cangkang yang bisa dicampakkan begitu saja, dan bukan sebuah bangunan rumah yang harus dibangun bersama sebagai tempat berteduh. Mungkin saja bangunannya belum jadi dan kita malah bertengkar tentang kebiasaan kita di rumah. Mungkin bukan rumahnya yang harus dibuang, tetapi kitanya yang harus dicerahkan dan direstorasi+++++

Lantas, bagaimana dengan Keenan? Apakah kebahagiaannya juga tidak kami perhitungkan? Analogi yang barangkali bisa membantu menggambarkan ini adalah petunjuk emergensi di pesawat. Dulu, saya sering bingung, kenapa orang tua disuruh memakai masker oksigen duluan sebelum anaknya. Sekarang saya mengerti, dan setidaknya ini adalah kebenaran bagi saya: kita tidak bisa membahagiakan orang lain sebelum kita sendiri bahagia. Satu buku yang sangat terkenal, “Celestine’s Prophecy”, juga bicara soal ini. Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain. Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi.

Saya menikah bukan karena Keenan, dan kalaupun saya bertahan menikah, seharusnya juga bukan karena Keenan. Karena kalau cuma karena Keenan, dengan demikian saya menaruh beban yang luar biasa besar dan bukan porsinya Keenan, bahkan saya menjadi seseorang yang tidak bertanggungjawab, dengan meletakkan fondasi pernikahan saya pada seorang anak. Ini barangkali bukan pandangan yang umum. Kita tahu betapa banyak orang di luar sana yang bicara bahwa anak harusnya menjadi pengikat, bahkan dasar. Bagi saya, Keenan bukan tali atau fondasi. Dia adalah anak panah yang akan melesat sendiri satu saat nanti. Kewajiban utama saya adalah menjadi manusia yang utuh agar saya bisa membagi keutuhan saya dengan dia. Dan keutuhan jiwa saya tidak saya letakkan dalam pernikahan, tidak juga pada siapa-siapa, melainkan pada diri saya sendiri. Saya hanya bisa bahagia untuk diri saya sendiri. Kalau ada yang lain merasa kecipratan, ya, syukur. Kalau tidak pun bukan urusan saya.

++++++++++Kembali Dewi disini menyampaikan hal yang sesat lagi. Menganggap bahwa eksistensi seseorang seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri adalah hal yang tidak terlalu benar. Edmund Husserl, seorang tokoh filsafat eksistensialisme, menyatakan bahwa setiap eksistensi selalu diiringi dengan ko-eksistensi. Artinya, setiap keberadaan orang dan apa yang dicerapnya, tentu juga akibat pengaruh dari orang lain. Kira-kira merupakan kelanjutan dari ide Cartesian. Fondasi kita memang bukan anak, namun fondasi kita adalah eksistensi-koeksistensi. Bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan koeksistensi etis. Setiap koeksistensi, tidak layak untuk hanya ditanggapi dengan pembiaran. Apalagi jika kita belajar psikologi perkembangan anak, pastilah kita semua tahu apa itu akibatnya dari suatu perceraian. Dan ini ilmiah lho, dapat dipertanggung jawabkan, bukan pendapat sendiri yang validitasnya masih harus kita pertanyakan. Dewi juga mungkin sudah belajar tentang keseimbangan alam versinya new age. Ada suami, ada isteri. Seorang anak, pastilah memiliki ayah dan ibu. Kemudian ekosistem memiliki unsur-unsurnya yang lebih banyak lagi yang menjamin dunia menjadi seimbang. Demikian pula alam semesta. Lalu, bagaimana kalau seorang anak tanpa ayah dan ibu disampingnya sebagaimana ditetapkan versinya keseimbangan alam? Pastilah sudah tidak seimbang. Dan ingat, dewi berkontribusi menciptakan ketidakseimbangan dalam alam semesta, dan terutama, dalam hidup seorang anak bernama Keenan++++++

Di dunia di mana seorang martir selalu memperoleh citra istimewa, apa yang saya ungkap barangkali terdengar egois. Sama seperti narasi yang kerap digaungkan infotainment, yang berbicara soal kebahagiaan anak bernama Keenan dan “hatinya yang terkoyak karena keegoisan ayah-bundanya” , seorang anak yang tidak mereka kenal sama sekali tapi mereka berbicara seolah bisa menembus ke dalam hatinya. Padahal, kalau direnungi dalam-dalam, sesungguhnya kita tidak pernah berbuat sesuatu untuk orang lain, meski kita berpikir demikian. Kita berbuat sesuatu karena itulah yang kita anggap benar bagi diri kita sendiri. Dan kebenaran ini sangatlah relatif. Jika ada 6,5 miliar manusia di dunia, maka ada 6,5 miliar kebenaran dan ukuran kebahagiaan. Norma berubah, agama berubah, sains berubah, segalanya berubah dan tidak pernah sama. Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah, dan tidak statis.

++++++++Sesungguhnya, menurut saya, sains, agama secara esensial dan fundamental tidak berubah. Yang terlihat sebagai perubahan mungkin adalah derivasinya. Mana ada sains jaman ini yang tidak merupakan derivasi dari sains yang terdahulu? Jika kita menggunaan psotulat revolusi sainsnya Karl Raimund Popper ataupun Thomas Kuhn, maka kita tetap akan melihat suatu korelasi derivatif dari Ilmu Pengetahuan. Namun tetap saja ada nilai-nilai yang tidak berubah. Misalnya ukuran meter dan sekon. Ini tidak berubah. Yang berubah adalah derivasinya. Meter bisa menjadi pixel. Sekon bisa menjadi milisekon. Kemudian postulat Newton, juga tidak berubah. Yang berubah pastilah derivasinya. Bahkan jika kita meninjuanya sampai ke Hawking. Demikian juga untuk ukuran moral. Ada yang tidak berubah. Mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri, nampaknya tidak akan berubah sebagai nilai yang positif. Menjadi martir juga tetap akan memiliki nilai yang positif. Egoisme, tetap akan memiliki nilai yang tidak positif, kecuali dalam konsep ubermenschnya Nietzsche, orang yang berakhir dengan kegilaan itu++++++++++++++++++++++++

Membahagiakan Keenan, keluarga, para penggemar, masyarakat, juga menjadi keinginan saya. Tapi saya pun tidak bisa selamanya mencegah mereka semua dari ketidakbahagiaan. Karena apa? Seseorang berbahagia karena dirinya sendiri. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tapi internal. Ilustrasinya begini, dua orang sama-sama dikasih apel, yang satu bahagia karena memang suka apel, yang lain kecewa karena sukanya durian. Berarti bukan apelnya yang bisa bikin bahagia, tapi reaksi hati seseoranglah yang menentukan. Yang tidak suka apel baru bisa bahagia kalau akhirnya dia bisa menerima bahwa yang diberikan kepadanya adalah apel dan bukan durian—sebagaimana yang dia inginkan. Alias menerima kenyataan. Saya tidak bisa membuat siapa pun berbahagia, sekalipun saya ingin berpikir demikian. Kenyatannya, hanya dirinya sendirilah yang bisa. Saya hanya bisa menolong dan memberikan apa yang orang tersebut butuhkan, SEJAUH yang saya bisa. Namun saya tidak memegang kendali apa pun atas kebahagiaannya.

+++++++++++jika memang kebahagiaan tidak ditentukan oleh mekanisme eksternal, lalu mengapa dewi tidak menerima saja segala sesuatu dalam pernikahan ini? Kenapa harus bercerai? Kan bisa juga kebahagiaan karena kita memang merasa bahagia, tidak perduli sejauh apapun itu pahitnya terasa kehidupan ini. Jadi, sekali lagi kita diperhadapkan dengan kontradiksi antara pernyataan dewi dengan keputusan yang diambilnya. Namun, saya tetap mempercayai bahwa dalam dialektika, selalu ada kemungkinan pengaruh eksternal dalam hidup kita. Ingat, bahwa eksistensi selalu mengandung koeksistensi. Demikian juga respon kita, akan dipengaruhi oleh dua hal tersebut. Tidak perlu membahagiakan orang lain, cukup memenuhi tanggung jawab saja sebagai orang yang sudah mengambil keputusan untuk menikah dan punya anak. Belum tentu juga yang orang tuanya lengkap merasakan kebahagiaan. Namun, poinnya saya kir bukan disitu, tapi responsibility saja. Bayangkan sebuah dunia tanpa manusia yang bertanggung jawab, pastilah akan hancur. Dan tanggung jawab itu bisa dinilai dari ukuran yang kecil seperti bertanggung jawab terhadap keluarga dan sebagainya. Sebab, jika kebahagiaan diukur hanya dengan aspek internal, maka saya khawatir ini akan membawa kepada ekstrem yang lain. Kita berbuat sesukanya saja kepada orang lain, toh apakah dia merasa tersakiti atau tidak dengan perbuatan kita, adalah keputusan dia sendiri, bukan karena kita menyakiti orang lain. Dalam sisi ekstrem yang lain, bahkan membunuh orang menjadi halal, karena bisa saja bermakna pembebasan, seperti yang dilakukan oleh seorang ibu di Margahayu Bandung ketika membunuh ketiga orang anaknya dengan alasan menghindari konsekuensi penderitaan bagi anaknya di masa yang akan datang++++++++++++++

Seseorang lantas mampir ke blog ini dan bertanya: Tuhan seperti apa yang saya anut? Karena kasih Tuhan seharusnya mengingatkan saya untuk terus bersatu, sebab tidak ada Tuhan yang menyukai perpisahan. Bagi saya, Tuhan berada di luar ranah suka dan tak suka. Jika dunia ini berjalan hanya berdasarkan kesukaan Tuhan, dan Tuhan hanya suka yang baik-baik saja, mengapa kita dibiarkan hidup dengan peperangan, dengan air mata, dengan patah hati, dengan ketidakadilan, dengan kejahatan? Mengapa harus ada hitam bersanding dengan putih? Lantas, kalau ada orang yang kemudian berargumen bahwa bagian hitam bukan jatahnya Tuhan tapi Setan, maka jelas Tuhan yang demikian bukan Yang Maha Kuasa. Ia menjadi terbatas, kerdil, dan sempit. Bagi saya, Tuhan ada di atas hitam dan putih, sekaligus terjalin di dalam keduanya. Tidak ada yang bukan Tuhan. Ia tak mengenal konsep “kecuali”.

+++++++++Justru, anda mengkerdilkan Tuhan. Dan ini tidak logis. Tuhan menjadi nir nilai. Bagaimana kita menerangkan tuhan yang tanpa nilai? Bahkan , sekali lagi ini menyangkali logika dialektika, bahwa ada yang baik, ada yang jahat. Ada Tuhan, dan ada setan. Kok jadi banyak yang tidak logisnya ya? Dan, menurut saya terlalu jauh jika diskusinya menyangkut Tuhan. Tidak ada peran Tuhan dalam urusan dewi ini. Semuanya adalah keputusan dewi sendiri. Berusaha melibatkan Tuhan dalam urusan ini, menunjukkan bahwa kita tidak memahami Tuhan. Apalagi berusaha menafsirkan kejadian-kejadian tertentu (air mata, patah hati, ketidakadilan, kejahatan) sebagai perbuatan Tuhan atau pembiaran dari Tuhan+++++++

Selama beberapa hari terakhir, begitu banyak pesan dan komentar yang dilayangkan pada kami. Dari mulai bertanya, kecewa, prihatin, sedih, kaget, bahkan bak seorang Nabi bernubuat, ada yang meramalkan ini-itu sebagai konsekuensi keputusan kami. Tak sedikit juga yang memilih tidak berkomentar dan bertanya, hanya memberi dukungan. Kami berterima kasih untuk semua. Kami pun tak meminta banyak, hanya satu hal: hargai keputusan kami. Yang kami selamatkan di sini bukan “keutuhan keluarga” melainkan keutuhan hati dan jiwa masing-masing. Karena buat kami, itu lebih penting daripada keluarga utuh tapi dalamnya rapuh. Maaf jika itu membuat beberapa dari Anda kecewa. Saya juga mengerti begitu banyak yang berupaya mendorong kami untuk terus berusaha, mempertanyakan usaha kami, dan bereaksi seolah-olah kami memutuskan keputusan ini dalam semalam. Sungguh, ini bukan keputusan “kemarin sore”. Kita semua tahu keputusan bercerai adalah keputusan yang besar. Intinya, terima kasih atas perhatiannya, dan mari kita kembali urus diri masing-masing.

++++++++++Nah, disini baru kelihatan aslinya. Bahwa dewi memang ’mengambil keputusan’ untuk bercerai. Jadi , bukan karena ’memang harus begitu’, tetapi lebih kepada ’inilah pilihan kami’, untuk menyelamatkan keutuhan hati dan jiwa masing-masing. Kata masing-masing, tentunya menyiratkan adanya ego. Sebab, kata ’keluarga’ dengan kata ’masing-masing’, memiliki makna yang agak diametral. Jika keluarga memiliki identitas bersama (plural/korporat), maka masing-masing bermakna pribadi(ego/singular/monolitik). Perkataan kembali urus diri masing-masing juga semakin menyiratkan bahwa keputusan yang diambil adalah keputusan masing-masing, bukan karena ’kadaluwarsa’, atau karena ’kodrat’ dan sebagainya. Disini baru terlihat aslinya dewi. Itu seharusnya yang a tonjolkan, bukan berusaha untuk membuat dia ’innocent’ dan berusaha menampilkan sosok bijaksana. Dewi adalah bagian dari milyaran manusia biasa seperti saya dan kita semua. Jadi, tidak perlu memberikan penjelasan yang njlimet, karena akhirnya ketahuan juga aslinya+++++++

Saya bukan penonton infotainment dan juga bukan pembaca tabloid, tapi dari beberapa info yang kebetulan sampai ke pengamatan saya, bisa disimpulkan bahwa manusia begitu haus drama. Mungkin karena itulah kita begitu rajin membuat sinetron dengan akting-akting berlebihan dan cerita-cerita ekstrem, karena hanya dengan cara demikianlah kita bisa menerima realitas. Kita begitu terbiasa dengan drama dan tragedi. Kondisi di mana saya dan Marcell bisa duduk berdampingan, berpisah dengan baik-baik, seolah-olah terlewatkan sebagai buah upaya kami yang nyata karena semua orang sibuk mengedepankan pertunjukan teater versinya masing-masing. Apa pun yang saya katakan, pada akhirnya selalu dibingkai narasi, entah lisan atau tulisan, yang merupakan ramuan opini si penulis naskah. Itulah yang akhirnya membuat saya dan Marcell lebih banyak tertawa sendiri, pers hiburan rasanya seperti servis sosial di mana kami mengumpankan dongeng untuk kepentingan hajat hidup mereka, bukan lagi berbagi kebenaran. Dengan info-info sepotong yang mungkin lebih banyak asumsinya ketimbang faktanya, mereka bisa merangkai pertunjukan teater apa pun yang mereka mau. Dan itulah yang menghibur. Sisanya? Kenyataan yang membosankan. Nyata, tapi tidak seru. Dan bukan itu yang orang mau.

++++++++++Ah Dewi, kan kamu juga memanfaatkan kehausan publik akan drama, makanya kamu buat novel, cerita, dan bahkan lagu-lagu kamu semasa di RSD, juga penuh dengan dramatisasi. Jangan membuat seolah-olah kamu tidak setuju dengan dramatisasi, tapi kamu hidup dari situ.++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

saya ditunjukkan tabloid C&R yang terbaru. Kami berdua menjadi sampul depan, dengan laporan empat halaman. Saya sempat tercengang karena mereka mengutip hal yang tidak pernah saya lontarkan, menuliskan pertanyaan yang tidak pernah mereka tanyakan, tapi ditulis sedemikian rupa seolah terjadi dialog langsung antara saya dan penulis/wartawan (Fitriawan Ginting - RED). Bahkan, mereka menuliskan alamat rumah saya dengan lengkap, tanpa izin terlebih dahulu. Plus, ditambah unsur-unsur dramatis bahwa kepindahan saya adalah untuk “mengubur masa lalu”. Padahal saya berencana pindah sejak tahun lalu karena semata-mata alasan pekerjaan. Tidak hanya mereka menulis sesuai dengan bingkai yang mereka mau, bahkan untuk mengepas “gambar realitas” ke bingkai tersebut, mereka melakukan hal yang tidak etis. Saya tidak tahu fungsi dari alamat lengkap saya untuk bumbu berita mereka, tapi mereka menuliskannya seolah tidak berpikir bahwa hal tersebut menyangkut isu sekuritas, dan juga privasi. Media seharusnya tidak memberikan alamat seseorang begitu saja. Sejauh saya berkarier, pihak media selalu meminta izin jika ingin memberikan alamat. Entah zaman yang sudah berubah, atau privasi sudah jadi kata-kata kosong dalam realm pers hiburan.

Beberapa debat dan diskusi di internet pun merebak, bahkan terkadang menjadi pengadilan tak resmi. Ada banyak nama yang disebut, dispekulasikan, dan sampai didiskreditkan. Orang-orang yang juga punya kehidupan, keluarga, karier, dan privasi. Sekalipun dengan tegas saya dan Marcell mengatakan bahwa alasan kami berpisah bukan karena pihak ketiga atau ketujuhbelas, tapi seperti angin lalu, mereka tak jemu mengorek sana-sini, termasuk ke sahabat-sahabat terdekat saya. So, seriously, they don’t have any concern for the truth. They have concern on “stories”. Lucu. Yang menjalani saja santai-santai, yang kebakaran jenggot malah orang-orang lain. Jika dilihat secara keseluruhan, sesungguhnya inilah dagelan kita bersama. Barangkali demikian juga halnya nasib semua berita hiburan (bahkan non-hiburan) yang beredar selama ini.

Lalu, hendak ke mana setelah ini? Saya tidak tahu. Apakah akan ada penyesalan? Saya tidak tahu. Apa pun yang menanti saya sesudah ini, itulah konsekuensi, tanggung jawab, dan karma saya. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah saya, dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi saya, itu sudah cukup. Bagi saya, itulah bentuk kesadaran.

++++++++++Nah, ini juga menunjukkan fakta yang lain. Artinya, kemungkinan besar Dewi emang tidak tahu lagi siapa dirinya, kemana ia akan pergi atau kemana sebenarnya ia pergi selama ini dan bagaimana dia harus berbuat. Itulah yang menyebabkan dia bercerai. ‘Tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat’. Ini adalah sebuah ’escape clause’, kalusul pelarian. Lari ke ’ketidaktahuan’. Ini juga aspek dramatisasi dari Dewi yang disajikan kepada kita+++++++++++++++++++++++++++++

Jadi, kalau pertanyaan emas itu kembali dilontarkan: apa penyebab Dewi dan Marcell bercerai? Mereka sadar, menerima, dan memaafkan… bahwa hidup telah membawa mereka ke titik perpisahan.

+++++++++Lagi-lagi kata ’maaf’, ’sadar’, sudah dilibatkan dalam perdebatan diantara mereka sendiri. Diantara kata-kata itu sendiri. Bahwa hidup membawa mereka ke titik perpisahan. Namun, seperti ungkapan dewi diatas, mengapa mereka tidak sadar dan menerima bahwa tugas kita manusia adalah untuk mempertahankan supaya tidak berpisah dan tidak punya hak untuk memutuskan mengenai kapan harus berpisah?++++++++++

Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti mengapa label-label itu muncul. Kebenaran kadang memang sukar dipahami. Hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya kita berusaha mendefinisikan Cinta. Pada akhirnya, kita cuma bisa merasakan akibatnya.

++++++++++++Abstrak? Mungkin iya. Karena dewi berusaha untuk membuatnya terlihat seperti itu. Uraian yang memiliki kontradiksi didalamnya pastilah akan terlihat abstrak. Tapi, apakah penjelasan ini memiliki makna filosofis? Tidak. Sebenarnya Dengan melontarkan pertanyaan seperti itu, dewi sudah melakukan fait accompli, yaitu dia mempersepsikan bahwa orang yang membaca tulisan ini akan menganggap uraian dia filosofis, dan teoritis. Padahal sama sekali ini adalah ungkapan pragmatis yang dicoba untuk dikemas secara lebih abstrak. Penjelasan dewi ini sebenarnya dangkal, banal (B-A-N-A-L). Mengapa? Sebab dia berputar-putar untuk menutupi kondisi sebenarnya dan apa yang sebenarnya terjadi. Dewi ingin mempertahankan gembaran dirinya sebagaimana mungkin sudah tergambar dalam karya-karyanya. Dewi ingin terlihat wise, dan bahkan berusaha mempengaruhi orang agar mengikuti pemikirannya. Sayangnya, uraian dewi kurang begitu dikemas dengan cerdas, sehingga, dari uraiannya saja sudah terbongkar bahwa paparan ini penuh dengan kontradiksi yang tidak logis. Walau dibungkus dengan tata bahasa yang mirip ’maksim’, tetap saja bagi mereka yang melakukan verifikasi secara mendalam, akan menemukan kedangkalan seorang dewi dalam pemaparannya. Saya belum pernah membaca bukunya Dewi. Tapi, orang menganggap bahwa buku Dewi itu memberi pencerahan, agak saintifik dan sebagainya. Namun dari paparannya yang kita baca hari ini, ternyata Dewi tidak sehebat itu. Mungkin Moammar Emka lebih oke, ketika saya melihat debatnya di TV swasta beberapa waktu yang lalu+++++++++++++++++++++++++++

+++++++++++Mengapa saya tertarik untuk mengomentari tulisan dewi ini? Pertama, karena tuliasn ini mampir di e-mail saya. dikirim oleh seseorang. Kedua, karena ada bahaya mengintai. Dia mencoba untuk mengarahkan opini masyarakat tentang suatu lembaga yang namanya perkawinan, menjadi lembaga yang tidak memiliki nilai sama sekali, kecuali hanaylah sebuah hubungan perdata saja. Dan, bahwa tanggung jawab untuk anak, diserahkan kepada anak itu sendiri. Ini bahaya. Apalagi keluar dari seorang public figure semacam dia. Alasan lain, saya tidak ingin masyarakat juga terbawa dalam logika yang amburadul versinya Dewi Mangunsong. Saya khawatir nanti masyarakat kita tidak lagi paham apa itu logika karenanya++

++++++++++Saran : sebaiknya Dewi menyampaikan kepada publik bahwa ini adalah keputusan saya, untuk kepentingan saya, urusan saya, dan anda urus diri anda sendiri, gitu. Daripada membuat psotulat-postulat baru yang membawa generalitas kasus pribadi yang sebenarnya harus dipandang secara kasuistik, dan tidak memiliki keabsahan untuk digeneralisasi sebagai ’destiny’ nanti, orang berbondong-bondong cerai. Kan sudah ’destiny’.+++

Winner Jhonshon,
Advokat dan Mahasiswa
Di Band