Wednesday, September 22, 2004

A Prayer

Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother
Dear God, please help my brother

Amen.

Wednesday, September 15, 2004

Teroris dan Torey Hayden

Ia terdiam. Di hadapannya, seorang pria duduk meminum teh. Pria itu anggota kelompok teroris Tamil Tigers yang beberapa detik lalu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul di rumahnya dan menodongkan senjata.

Ia tak kaget. Sebagai pendiri salah satu komunitas Buddha di Sri Lanka, ia sudah lama menjadi target pembunuhan Tamil Tigers. Ia tahu, cepat atau lambat, seseorang akan datang dan berusaha merampas nyawanya. Kalau bukan pria yang sedang minum teh itu, pasti orang lain. Jadi ketika pria itu datang, ia sama sekali tidak terkejut.

“Bila Anda mau menembak saya, silakan. Tapi sebelumnya, masuklah dulu dan minum secangkir teh. Ceritakan kenapa Anda begitu ingin membunuh saya. Bagaimanapun, Anda berhutang penjelasan. Anda bisa membunuh saya setelahnya.”

Pria itu –si (calon) pembunuh- terperangah. Hanya sebuah undangan minum teh, memang. Namun bila yang mengundang adalah laki-laki yang sedang ditodongnya dengan senjata?
Singkat cerita, (mungkin) karena kagum dan penasaran, si (calon) pembunuh masuk. Menikmati secangkir teh, berbincang-bincang dengan laki-laki itu, dan akhirnya pulang tanpa melepas tembakan.

Too good to be true? Mungkin. Tapi saya termasuk orang yang lebih suka berpikir positif (setidaknya ‘berusaha’ begitu). Mungkin saja, laki-laki pendiri komunitas Buddha itu memang punya kharisma luar biasa atau aura positif yang begitu pekat (atau apalah namanya) sehingga mampu mempengaruhi si (calon) pembunuh. Mungkin saja, yang kita butuhkan memang cuma telinga untuk menyimak dan pikiran yang terbuka. Jadi, atas asumsi cerita ini benar, it’s simply wonderfull.
(BTW, saya jadi ingat seorang teman yang pernah menyentak saya dengan perkataan, “Kamu tuh maunya mikir yang indah-indah aja, yang bagus-bagus aja. Dunia ini nggak begitu!” Saya lupa kalimat persisnya, tapi saya ingat betul nada sewotnya.)

Kisah pria (calon) pembunuh dan laki-laki target pembunuhannya itu dituturkan pada saya oleh Torey Hayden, seorang psikolog, terapis, pengajar anak-anak luar biasa, sekaligus penulis buku bestseller 'Sheila. Luka Hati Seorang Gadis Kecil'.

..............................................................

Kamis, 9 September 2004 lalu, setelah siang harinya dikejutkan dan dibuat sedih oleh peristiwa meledaknya bom di depan Kedubes Australia, Kuningan, saya sebenarnya cuma ingin cepat pulang. Tapi saya masih punya janji wawancara dengan Torey Hayden pukul tujuh malam. Saya pikir, peristiwa bom Kuningan itu akan membuatnya memundurkan jadwal wawancara ke hari lain. Ternyata saya salah. Torey malah memajukan wawancara ke pukul lima sore.

Jadi berangkatlah saya. Hal pertama yang kami bicarakan begitu bertemu muka adalah –tentu saja- bom tadi siang.
“I wasn’t frightened. I’m very much believe that if it’s my day to die then i shall die and if it isn’t, i wont. So there’s no point worrying about that in the interim.
To me, the terorist is like a child having a tantrum. A child having a tantrum is a child out of control. Nothing is more inappropriate for handling that child than to be afraid of what he’s doing, to be frightened or to be upset by his actions. He’s so overcome by sense of powerlessness, by lack of a voice, by frustration of his situation. He just can’t control it any longer and it explodes. I think it’s the same situation that these terorists are feeling. They’re feeling powerless, they lack of voice, they dont know how else to express themselves than violently. We need sane people around them who can say ‘yes i understand how you feel. But we get to find a different way to solve the problem.’ So i dont feel frightened.”
Lalu barulah saya mendengar kisah percobaan pembunuhan yang gagal itu.

.............................................................

Rasanya tulisan ini harus diakhiri, karena sudah terlalu panjang. Masih banyak yang ingin saya bagi, tapi yah sudahlah. Saya juga belum menemukan kalimat penutup yang pas, tapi yaa.. ya sudah. Sudah saja.
(Huh, malas banget ga sih ending-nya?)