Wednesday, June 30, 2004

The Season

I have something with words.
Ada beberapa kata yang menurut saya lebih indah dari kata-kata lain. Salah satunya, 'musim', 'season'.

Apartemen Four Seasons, lagu Boyz II Men; 'Four Seasons of Loneliness', Nine Seasons-boysband Indonesia yang dulunya bernama ME.

Waktu SMP dulu, saya pernah membaca sebuah cerita bersambung di majalah Gadis, 'Menanti Musim Berganti'. Pengarangnya adalah salah satu penulis favorit saya di zaman itu: Tika Wisnu, kalau tidak salah.

Tahun kemarin, saya terkagum-kagum pada satu lagu di album Norah Jones, judulnya 'Shoot the Moon'. Tapi tentu saja, semua lagu di album itu mengagumkan.

the summer days are gone too soon
you shoot the moon
and miss completely
and now you're left to face the gloom
the empty room that once smelled sweetly
of all the flowers you plucked
if only you knew the reason
why you had to each be lonely
was it just the season?
now the fall is here again
you can't begin to give in
it's all over
when the snows come rolling through
you're rolling too with some new lover
will you think of times you told me
that you knew the reason
why we had to each be lonely
it was just the season

Cerita itu, lagu itu, jadi jimat yang kemudian saya bawa-bawa ketika menjalani hari. Waktu saya sedih, saya berbisik dalam hati, "Nggak apa-apa, Ey. It's just the season of sadness. Sebentar lagi musim ini berganti. Lihat saja." Waktu saya merindukan masa-masa indah bersama beberapa sahabat lama, saya katakan pada diri sendiri, "Tiap musim akan berulang. Kalaupun musim itu tak kembali, akan datang musim lain yang tak kalah indah."

Bukankah hidup memang cuma deretan musim yang silih berganti?

Dulu, ada musimnya ketika saya tak pernah mau jauh dari ibu saya. Lalu musim itu pergi. Saya jadi lebih suka sendirian di rumah.
Dulu, ada musimnya ketika saya tergila-gila main orang-orangan kertas. Lalu musim itu beranjak. Saya jadi lebih suka berkumpul dengan teman-teman: nonton VCD, ke mal, ngobrolin cowok.
Dulu, ada musimnya ketika saya memandang semua kejadian begitu hitam atau putih. Lalu musim itu mengabur. Kini banyak hal yang tampak sangat abu-abu.

Iya, betul. Hidup memang cuma deretan musim yang silih berganti.

dan sekarang..
adalah musimnya..
memalingkan wajah..
yang bersemu merah..
karena tatapmu..
tak jua lepas dari mataku..

Thursday, June 24, 2004

Sedikit Narsis(?) ;)

Sudah beberapa minggu ini (atau bulan, ya?), saya BENCI BANGET(!!!) sama rambut saya. Panjangnya udah tanggung, ujungnya keluar-keluar, berantakan, acak-acakan. Niat potong rambut sih ada , tapi belum sempet. Masih nunggu waktu yang tepat untuk menggunakan voucher potong rambut gratis dari seorang teman.

Tapi siang ini, pas ngacaan di kamar mandi dan ngeliat pantulannya, kok saya tiba-tiba berpikir, "Eh, bagus juga ni rambut. Sesuai kepribadian (maksudnya kepribadiannya nanggung dan acak-acakan gitu?). Apa ga usah dipotong aja kali, ya?"

Hehe.. Duile Eyi... ;)

Wednesday, June 16, 2004

Ibu; Sekarang dan Dulu

Saya mencintaimu, Ibu. Iya, cinta, saya yakin. Saya mencintaimu karena.. Nanti dulu, adakah cinta butuh 'karena'? Saya mencintaimu karena cinta itu sendiri. Karena rasa hangat yang merambat ketika episode-episode masa kecil itu terputar ulang dalam kepala.

Saya telanjang, memeluk pinggul ibu erat-erat, mata terpejam, kepala tengadah. Pelan-pelan, guyuran air jatuh ke kepala, membasahi rambut dan seluruh tubuh. Lagi, lalu lagi, lalu lagi. Lalu wangi shampo bayi dan pijitan lembut di kepala. Lalu air lagi, lalu lagi, lalu lagi.
Lalu pertanyaan itu: "Nanti kalau aku udah gede trus punya suami, tapi belum bisa keramas sendiri gimana?"
Dan jawabannya: "Nanti lama-lama juga bisa.."

Saya ingat. Saya ingat perasaan lega dan nyaman yang selalu hadir ketika kamu menjemput saya di sekolah. Saya ingat betapa gelisahnya saya ketika kamu tak ada, dan begitu girangnya saya kala kamu pulang.

But nothing stays the same, they say.
Ada apa dengan kita? Sosokmu berubah jadi telunjuk besar yang menuntut saya untuk bertindak, bersikap, bertutur, berpakaian, bersahabat, berpacaran, berdiri (iya, BERDIRI!) seperti yang kamu mau.

Lalu pergilah saya. Saya tiadakan kamu dalam sebagian besar langkah saya. Kenapa? Karena segalanya hanya akan bertambah rumit kalau kamu tahu. Karena tiap aksi hanya akan mengundang reaksi yang tak saya harapkan. Jadi saya pergi.

Kamu tak ada, ibu. Kamu tak tahu kalau putri sulungmu ini pernah beberapa kali kabur ke Bandung untuk bertemu seorang laki-laki. Kamu tak ada di malam-malam jahanam saya, ketika saya terisak keras sampai begitu sulit bernapas. Kamu tak tahu kalau saya pernah membenturkan kepala ke kaca jendela karena menyesali satu perbuatan tolol yang saya lakukan.

Tapi saya mencintai kamu, ibu. Dan saya yakin kalau kamu mencintai saya ratusan kali lipat lebih besar. Jadi maafkan saya, ampuni saya karena kemarin saya telah memantapkan hati: Kelak, saya tak ingin jadi ibu seperti kamu.

Tuesday, June 08, 2004

:(

Huhuhu.. dicekek-cekek deadline. Bentar lagi mungkin dicekek beneran sama redaktur.
Yah, beginilah kalau punya motto: "Jangan kerjakan sekarang apa yang bisa ditunda sampai nanti." Hehehe..

Thursday, June 03, 2004

Sepenggal Kemarin


Gara-gara ngebongkar laci meja kantor, jadi ketemu gambar ini lagi.
Sebelum ada yang bertanya: Bukan saya yang menggambar.