Thursday, January 27, 2005

Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari

aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang
siapa di antara kami yang harus berjalan di depan


Petikan dari:
Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari, 1987


SAPARDI EMANG DAHSYAT!

Thursday, January 20, 2005

Satu Pagi, Sebuah Mikrolet, Seorang Pemuda

Pagi itu -seperti biasa- saya mencegat mikrolet di perempatan lampu merah dekat rumah. Setelah mikrolet jurusan Cawang itu datang, saya -seperti biasa- memilih duduk paling pojok, dekat jendela belakang yang besar itu. Tepat di depan saya, duduk seorang pemuda bertopi, telinganya tersumbat earphone. Ini juga biasa. Yang tidak biasa adalah ketika saya tiba-tiba melihat dia mulai mengangguk-angguk.

Apa yang kamu pikirkan kalau melihat seorang pemuda memakai earphone sambil mengangguk-angguk?
"Ah, dia pasti sedang mengikuti beat musiknya."
Begitu? Iya, saya juga -biasanya- berpikir begitu.

Tapi ada sesuatu yang tidak biasa dari anggukan- anggukan si pemuda bertopi yang telinganya tersumbat earphone itu.

Bagaimana saya menjelaskannya?
..............................
Dia mengangguk dengan beberapa anggukan pendek, cepat, dan agak keras menghentak.

Jelas? Belum, ya?
Jadi begini: Kalau satu anggukan = 'tep', maka yang dia lakukan begitu mengangguk adalah 'tepteptepteptep'. Pendek-pendek, cepat, dan agak keras menghentak. Setelah itu diam. Tak lama, dia ber-'tepteptepteptep' lagi.

Terus? Kamu mungkin bertanya, apa yang aneh dari itu? Apa yang 'tidak biasa'? Tidak, seharusnya mungkin tidak aneh, biasa saja. Tapi saya tak bisa menganggap begitu.

Kenapa?
Karena saya tiba-tiba teringat masa kecil saya.
Dulu, jaman SD, saya nyaris selalu punya kebiasaan jelek. Salah satunya -ya, tul!- mengangguk-angguk itu. Beberapa anggukan pendek, cepat, dan agak menghentak.
Saya sendiri tidak tahu kapan kebiasaan itu berawal, atau kenapa. Yang saya ingat, tahu-tahu saya jadi sering mengangguk-angguk. Saya terganggu juga sebenarnya, dan berusaha menghilangkan kebiasaan itu. Kalau keinginan untuk mengangguk datang, saya tahan sekuat mungkin. Tapi biasanya gagal. Tak berapa lama, saya kembali mengangguk-angguk lagi, lebih keras dari biasanya malah, sebagai pelampiasan hasrat mengangguk yang tadi sempat ditahan.

Lalu suatu hari kebiasaan mengangguk itu hilang.
Kok bisa?
Karena saya menggantinya dengan kebiasaan lain.
Bukan jadi menggeleng, tapi berkata 'eb'('e' bedak, bukan 'e' bebek). Ya, betul.
'Eb'. Coba bilang 'eb', tapi katupkan mulutmu. 'Eb', tanpa membuka mulut. Ya, begitu. Tiap beberapa menit sekali, saya spontan berucap 'eb'.

Kebiasaan ini juga akhirnya hilang suatu hari, tapi saya kemudian punya kebiasaan jelek lain (tentunya). Tahu-tahu, saya terbiasa menjulurkan leher. Pendek saja, asal terasa di leher ya sudah.

Masih ada lagi. Saya pernah punya kebiasaan menggosok dan memencet hidung, terutama kalau sedang grogi. Walhasil, hidung saya sekarang adalah organ tubuh yang cukup sering kena sindir orang lain karena bentuknya yang memang mengundang komentar:( Hehehe...

Saraf?
Sepertinya bukan. Toh sekarang saya bisa berhenti dan tak punya kebiasaan jelek lagi. Kata seorang teman yang lulusan fakultas psikologi, saya dulu pasti memiliki tingkat kecemasannya tinggi. Kecemasan itu ditekan sedemikian rupa lalu keluar dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan jelek itu.

Aneh?
Memang. Tapi sepertinya penjelasan soal 'tingkat kecemasan yang tinggi' itu memang masuk akal. Saya dulu MEMANG sering cemas berlebihan, takut pada banyak hal, dan kurang percaya diri. Semua itu masih suka terbawa-bawa sampai sekarang, tapi -syukurlah- dalam taraf yang sudah tak terlalu mengkhawatirkan. Minimal tidak sampai membuat saya mengangguk, ber-'eb', atau menjulurkan leher.


Kembali ke pagi itu, di mikrolet, saat saya bertemu si pemuda bertopi yang telinganya tersumbat earphone dan cara mengangguknya mengingatkan saya pada (salah satu) kebiasaan jelek saya dulu.

Saya memalingkan wajah dari dia, tak berani memandang lagi. Bahkan ketika beberapa orang di samping saya turun, saya bergeser menjauh.

Kenapa?
Karena saya tiba-tiba merasa takut kalau anggukannya itu menular. Saya takut kalau tahu-tahu saya terbiasa mengangguk-angguk lagi.

Dari sudut mata, saya melihat dia mengangguk lagi, seketika saya merasa jijik.
Lho? Kenapa mesti jijik?
Mungkin saya tidak jijik pada dia, atau anggukannya. Mungkin saya jijik karena teringat kalau saya dulu punya kebiasaan yang menjijikkan. Tak tahulah, saya nggak ngerti juga. Yang saya tahu, saya makin merasa tidak nyaman berada semikrolet dengan pemuda bertopi yang telinganya tersumbat earphone itu.

Saya mulai menimbang-nimbang. Apa saya harus keluar dari mikrolet itu dan berganti mikrolet lain?
Ah!

Monday, January 03, 2005

1 Januari Kemarin

Terima kasih Tuhan...






...untuk mengurai kusut dalam kepalaku.